Bandar Bola - Bandar Bola - Cerita Sex: Kisah Kupu Kesepian
Bandar Bola - Suara erangan dan jerit kenikmatan
bersahutan dalam kamar suite di hotel bintang empat tersebut.
Agen Maxbet - Di atas
ranjang yang besar terlihat seorang wanita muda, berkulit putih rambut
sebahu sedang mengerang nikmat ketika laki-laki muda yang ada di atasnya
menghentakkan pinggulnya sembari menciumi leher wanita itu.
“Ahhh, keeluuaaarrh Prim, akuuu dapeeeettss!” Wanita itu mengejang menggapai orgasme.
“Ampunnnnn, aduuhhhh, lagiihhh, lagiihhh!” Bandar Bola Online
“Ampunnnnn, aduuhhhh, lagiihhh, lagiihhh!” Bandar Bola Online
Terjangan orgasme membuat wanita itu
kewalahan dan pasrah ketika laki-laki yang bernama Prima itu membalik
tubuhnya dan langsung menyetubuhinya lagi dengan gaya Doggie Style.
“Ahhhh, ahhhh, mentok ahhhh, ampuunnhnnnn, gillllllaaaaahhkk!” Wanita itu mengejang lagi untuk kesekian kalinya.
Udara sejuk dalam kamar itu tidak mampu
menahan keringat keluar dari tubuh kedua orang itu. Wajah laki-laki itu
tampak mengejang berusaha menahan desakan dalam kontolnya yang begitu
kuat. Ia berusaha memperlambat tempo supaya bisa lebih lama menikmati
tubuh wanita yang sekali lagi mengerang nikmat mendapatkan orgasme entah
untuk yang keberapa kalinya.
“Aduh Prim, udahan plis, lemes banget
inih, kluarin beb..” Wanita itu merengek sambil mengerang ketika orgasme
kembali menerjang dari bawah tubuhnya.
“Bentar lagi Cin, masih blom puas nih say.” Prima membalik tubuh wanita yang bernama Cintia lalu memasukan lagi kontolnya.
“Bentar lagi Cin, masih blom puas nih say.” Prima membalik tubuh wanita yang bernama Cintia lalu memasukan lagi kontolnya.
Cintia hanya mengerang pasrah merasakan batang kontol Prima yang begitu keras merasuki memeknya.
“Hahhh, hahhhh, mo kluar Cin, aaaahhh!” Prima menghentak-hentak makin keras sambil menahan pinggul Cintia.
“Yahhk, yahhk, bareng Prim, aduh gilaaahhhkkkk!”
“Yahhk, yahhk, bareng Prim, aduh gilaaahhhkkkk!”
Prima dan Cintia mengerang keras, tubuh
Cintia mengejang dan bergetar ketika merasakan semburan sperma Prima ke
dalam dirinya. Dengan nafas memburu keduanya tergeletak lemas di atas
ranjang. Prima dan Cintia menatap satu sama lain sambil tersenyum
bahagia. Di lantai kamar itu berserakan gaun pengantin serta tuxedo yang
mereka kenakan tadi siang pada waktu resepsi pernikahan mereka. Prima
mencium bibir Cintia, yang sekarang sudah resmi menjadi istrinya. Sudah
begitu lama ia menunggu untuk bisa bercinta dengan Cintia, yang sangat
menjaga kehormatan dirinya. Cintia yang kehabisan tenaga, merasakan
kebahagiaan karena bisa membuat suaminya begitu puas dalam bercinta,
karena selama ini Cintia kadang merasa grogi menjelang malam pertama
mereka ini.
Sejak kecil ia selalu diajarkan dasar
agama yang kuat sehingga ketika Prima mengajaknya bercinta selama mereka
berpacaran, ia selalu menolak halus. Ada rasa kuatir dalam diri Cintia,
kalo ia tidak bisa memuaskan Prima pada saat malam pertama mereka,
tetapi semua itu sirna sudah, dan Cintia juga kewalahan ketika
mengetahui dirinya yang mudah mendapatkan orgasme pada saat berhubungan
intim. Cintia merasakan lidah Prima dalam mulutnya, sementara tangan
Prima sudah mulai lagi merabai memeknya yang basah.
“Huuumppphh Priiimmm, break duluuu..”
Cintia menggelinjang ketika kontol Prima sudah kembali berada di depan
liang memeknya. “Ooohhhkk, addduhh, keras bangeeet..”
Protes Cintia tidak digubris Prima, yang
masih blom puas menyalurkan nafsunya yang sudah tertahan selama ini. Ia
menindih Cintia dan memasukan kontol perlahan. Cintia hanya bisa pasrah
menerima kontol suaminya itu, ia mengerang ketika kenikmatan mulai
datang lagi dari bawah tubuhnya.
Bulan demi bulan setelah pernikahan
mereka kehidupan Prima dan Cintia hampir sempurna. Mereka sangat
menikmati hidup baru mereka, karena sudah menjadi keputusan mereka untuk
menunda dalam memiliki anak agar bisa mengejar karir di dunia kerja
mereka masing-masing.
Mei 2014
Prima mendapat kenaikan jabatan menjadi
Direktur Keuangan di perusahaan tempat dia bekerja, menggantikan
direktur yang lama, yang mengundurkan diri. Walaupun ia mendengar gosip
tidak mengenakan soal pengunduran diri direktur yang lama itu, tapi rasa
bahagia Cintia dan dirinya mengalihkan perhatiannya.
Agustus 2014
Prima dan Cintia menempati rumah baru
mereka. Dengan menggunakan tabungan mereka sebagai uang muka, mereka
membeli rumah dan membayar sisanya melalui kredit. Dengan gaji Prima
sebagai direktur keuangan dan penghasilan Cintia sebagai sekretaris di
perusahaan pembiayaan, mereka sangat mampu membayar cicilan rumah
tersebut.
November 2014
Seorang staff bagian keuangan tertangkap
tangan menggelapkan uang perusahaan. Tiga orang staff yang terlibat.
Direktur utama perusahaan itu, Pramono, memerintahkan untuk melakukan
audit penuh pada divisi keuangan pimpinan Prima itu.
Desember 2014
Hasil audit menunjukan Prima, secara
tidak langsung terlibat dalam penggelapan dana ratusan juta tersebut.
Prima menyangkal keras keterlibatannya, tetapi tanda tangan pada dokumen
yang sebenarnya belum pernah dilihat sama sekali oleh Prima membuat ia
tidak memiliki kekuatan untuk menyangkal lebih lama. Tim audit
menelusuri lebih jauh kasus penggelapan itu, dan menimpakan semua
kesalahan direktur keuangan yang lama pada Prima sebagai pejabat baru.
Kerugian perusahaan mencapai hampir satu milyar. Pramono yang harus
menjaga nama baik perusahaannya, memberikan pilihan pada Prima, untuk
mengganti seluruh kerugian atau membawa kasus ini ke ranah hukum. Dunia
Prima dan Cintia langsung jungkir balik. Rumah dan mobil mereka terpaksa
dijual untuk mengganti kerugian perusahaan. Sekarang mereka tinggal di
rumah kontrakan kecil di pinggir kota. Tetapi itu juga masih belum
mencukupi untuk mengganti kerugian.
4 Januari 2015
Polisi menangkap Prima atas tuduhan
penggelapan. Pramono memberikan waktu kepada Prima dan Cintia untuk
menyelesaikan kekurangan kerugian perusahaan selama satu bulan. Jika
dalam satu bulan tidak dapat diselesaikan, maka proses perkaranya akan
diteruskan.
20 Januri 2015
Cintia termenung di meja kerjanya.
Tugas-tugas hariannya banyak yang terbengkalai. Matanya sembab hasil
menangis semalaman. Lingkaran hitam di matanya tampak jelas karena ia
tidak cukup tidur memikirkan Prima yang ditahan di kantor polisi. Mei,
teman sekantor Cintia, masuk ke dalam ruangan Cintia.
“Kamu kenapa Cin? Buat apa kamu minta
nomer kontak ini?” Muka Mei penuh pertanyaan. “Orang ini bukan orang
baik-baik loh. Bahaya. Boss aja angkat tangan kalo udah urusan sama
dia.”
“Aku gak bis cerita Mei.” Tangan Cintia
membalik-balik kertas putih bertuliskan nomor telepon. “Aku tau dia
bukan orang baik-baik. Tenang aja Mei.”
“Hati-hati Cin!” Mei tampak cemas, sudah
hampir sebulan ini sahabatnya Cintia ini tampak terbebani sesuatu. Ada
gosip-gosip yang beredar, tapi Mei lebih memilih menunggu Cintia
bercerita sendiri kepadanya.
“Hati-hati Cin!” Mei kembali berkata sebelum keluar ruangan Cintia. Sedangkan Cintia hanya termangu menatap kertas tadi.
Tanpa ekspresi kemudian Cintia meraih ponselnya kemudian menghubungi nomor tadi.
1 Februari 2015
920, Cintia menatap nomor kamr hotel
itu. Masih ada kesempatan untuk balik Cintia melihat lagi SMS yang
diterimanya tadi. Jam 6 sore. Masih ada waktu untuk membatalkan
semuanya. Cintia menarik nafas panjang. Tangannya menekan bel yang ada
di samping pintu tadi. Semoga tidak ada orang. Semoga salah. Semoga
salah. Seorang gadis muda, mengenakan seragam SMA, membuka pintu itu.
Raut mukanya tampak kelelahan, tapi ia masih bisa tersenyum hangat pada
Cintia sebelum mempersilakan ia masuk. Gadis itu mengenakan jaket serta
menyandang tasnya sebelum keluar kamar dan menutup pintu.
Mata Cintia dan gadis itu sempat bertemu
sebelum pintu menutup. Dan Cintia melihat rasa kuatir pada tatapan
gadis itu. Dalam kamar suite itu Cintia perlahan melangkah masuk menuju
ruangan utama. Duduk di atas sebuah sofa besar, terlihat seorang
laki-laki sedang membaca beberapa lembar kertas. Tubuhnya terlihat besar
tanpa lemak berlebih. Cintia hanyak bisa menebak laki-laki itu berumur
sekitar 40an dengan melihat raut mukanya. Laki-laki itu mengangkat
mukanya ketika Cintia sampai di tengah ruangan. Ia menatap jam yang ada
di dinding.
“On time ya. Gua suka orang on time.” katanya sambil mengamati Cintia.
“Malem Ko Han. Maaf mengganggu.” Cintia menjawab dengan tenggorokan kering.
“Malem Ko Han. Maaf mengganggu.” Cintia menjawab dengan tenggorokan kering.
Cintia hanya mengenal laki-laki itu
dipanggil Ko Han oleh boss-nya. Ko Han sering dihubungi jika ada nasabah
dari kantor Cintia yang kabur atau bermasalah. Dari Mei, Cintia
mendengar jumlah anak buah Ko Han yang puluhan serta koneksinya yang
seperti tidak terbatas dimana-mana membuat Ko Han bukan orang yang bisa
diperlakukan secara main-main.
“Jadi? Gimana? Lo jadi?” tanya Ko Han sambil menatap Cintia.
“Iya Ko, jumlahnya segitu Ko apa bisa ya Ko?” jawab Cintia cemas.
“Jumlah segitu banyak banget. Gua juga barusan kenal lo kemaren. Boss lo gak tau ya kalo lo cari gua? Gua juga tanya ke bos suami lo, si Pramono kemaren dulu.”
“Iya Ko, jumlahnya segitu Ko apa bisa ya Ko?” jawab Cintia cemas.
“Jumlah segitu banyak banget. Gua juga barusan kenal lo kemaren. Boss lo gak tau ya kalo lo cari gua? Gua juga tanya ke bos suami lo, si Pramono kemaren dulu.”
Cintia agak kaget mendengar Ko Han bisa
mencari informasi tentang Prima dan Pramono yang belum pernah ia
ceritakan sebelumnya kepada siapapun.
“I..iya Ko. Saya usahakan kembali secepatnya.”
“Lo gak usah janji muluk-muluk lah. Lo liat aja kondisi lo sendiri. Laki lo dipenjara. Lo gaji paling berapa. Sampe kapan lo mau balikin?”
“Lo gak usah janji muluk-muluk lah. Lo liat aja kondisi lo sendiri. Laki lo dipenjara. Lo gaji paling berapa. Sampe kapan lo mau balikin?”
Tubuh Cintia lemas mendengar kaya-kata
Ko Han. Jalan terakhir yang ia tempuh sepertinya akan berubah menjadi
jalan buntu dalam sekejap.
“Tapi Ko…” Cintia terdiam melihat tatapan mata Ko Han.
“Tapi apa lagi? Lo punya jaminan apa?”
“Tapi apa lagi? Lo punya jaminan apa?”
Cintia hanya bisa terdiam. Mukanya panas, ia berusaha keras menahan air mata yang mendesak keluar.
“Lo jaminin badan lo aja!”
“No! No! Pulang aja Cin… Pulang…” naluri Cintia menjerit untuk segera keluar dari tempat itu. Tapi tubuh Cintia tak bergerak.
“Gimana? Kalo deal, gua test drive lo sekarang. Kalo emang oke besok-besok gua kabarin soal permintaan lo.” Ko Han tersenyum melihat Cintia bimbang. “Gua masih banyak janji nih Cin, kalo lo mau buruan copotin tuh baju trus gua test drive.”
“Jangan! Pulang! Prima gak bakal mau kamu gini. Pulang!”
“Ini demi Prima. Demi Prima.”
“Jangan!”
“No! No! Pulang aja Cin… Pulang…” naluri Cintia menjerit untuk segera keluar dari tempat itu. Tapi tubuh Cintia tak bergerak.
“Gimana? Kalo deal, gua test drive lo sekarang. Kalo emang oke besok-besok gua kabarin soal permintaan lo.” Ko Han tersenyum melihat Cintia bimbang. “Gua masih banyak janji nih Cin, kalo lo mau buruan copotin tuh baju trus gua test drive.”
“Jangan! Pulang! Prima gak bakal mau kamu gini. Pulang!”
“Ini demi Prima. Demi Prima.”
“Jangan!”
Tas tangan yang dibawa Cintia jatuh ke
lantai kamar. Dengan tangan gemetar Cintia membuka kancing bajunya satu
per satu. Baju itu pun menyusul tas Cintia jatuh ke lantai. Tangan
Cintia menarik turun rok yang ia kenakan. Melorotkan bra dan celana
dalamnya. Air mata mengalir. Tatapan matanya kabur. Tubuhnya gemetar.
Tangan Cintia menutupi dada dan memeknya.
“Pulang! Jangan!”
“Demi Prima! Demi Prima!”
“Demi Prima! Demi Prima!”
“Gua gak punya banyak waktu, jadi lo
kerjain aja yang musti lo kerjain. Gua mau liat hasilnya aja.” Ko Han
melepaskan jubah tidur yang ia kenakan, membuat Cintia dapat melihat
kontolnya yang setengah menegang. Hampir saja Cintia jatuh terjerembab
karena berjalan limbung mendekati Ko Han yang duduk bersandar di sofa
sambil menatap langit-langit menunggu layanan dari Cintia. Kontol Ko Han
menegang ketika tangan Cintia menyentuhnya. Cintia memejamkan mata,
membayangkan seluruh film porno yang pernah ia tonton bersama Prima.
Ketika itu mereka tertawa konyol melihat adegan-adegan film biru itu
sebelum akhirnya bercinta dengan liarnya. Ko Han mendengus merasakan
mulut Cintia menghisap kontolnya. Sebentar saja Cintia menggunakan
mulutnya kontol itu sudah menegang maksimal. Cintia menaiki tubuh Ko
Han.
“Prima. I love you! I love you! Maafkan! I love you babe.”
Cintia mengerang merasakan memek dibuka
oleh dorongan kontol Ko Han ketika ia menurunkan pinggulnya. Gesekannya
terasa perih, tidak seperti ketika Prima memasuki tubuhnya. Tubuh Cintia
gemetar ketika seluruh kontol Ko Han masuk ke dalam memeknya. Perlahan
Cintia mulai bergerak naik turun berpegangan pada pundak Ko Han.
“Prima! Maafkan aku… Maaf sayang!”
Tubuh Cintia mulai bereaksi. Cairan
cinta mulai melumasi memeknya. Rangsangan muncul menggantikan rasa
perih. Cintia mengerang ketika merasakan buah dadanya diremas disusul
oleh hisapan oleh mulut Ko Han.
“Ohhhkk, jangan, jangaaannhh, aahhhh,
plisssshhh…” Cintia meronta ketika rangsangan terus datang dan berlipat
ganda membuat tubuhnya total meledak dalam kenikmatan. “Ahhhh,
jangaaaaannnnghhkkkk, aaaahahhhkkk!”
Tubuh Cintia menyerah kalah. Orgasme
datang menghempaskan harga diri Cintia. Air mata kembali menetes ketika
Cintia jatuh lemas di badan Ko Han.
“Ohhh udahhhkk kooo, udaahhhh…” Cintia
merintih ketika tangan Ko Han memaksa pinggulnya kembali bergerak naik
turun. “OOoh, kooo plisshhh stoppp ahhhhhhhhhhkk….”
Orgasme kedua datang. Yang ketiga menyusul. Pinggul Ko Han sekarang ikut bergerak. Membuat kontolnya masuk semakin dalam.
“AMpppunnn! Udah! Udah plis! Ampun Kooooohhhkkkkk…”
Keempat. Kelima.
“Hhhgggghhhk!”
Cairan hangat memenuhi memek Cintia.
Pecah tangis Cintia. Ia meraung kalah merasakan sperma Ko Han mengalir
keluar dari memeknya. Ia melepaskan diri dari Ko Han meringkuk di
lantai. Menangis kalah.
“Luar biasa!” Ko Han tersenyum puas.
“Hoki banget laki lo bisa puya bini kayak lo ya.”
“Hoki banget laki lo bisa puya bini kayak lo ya.”
Cintia merangkak menjauh menggapai pakaiannya.
“Sekarang lo pulang aja. Tunggu kabar dari gua.” Ko Han bangkit meninggalkan Cintia masuk ke kamar mandi.
Seperti orang linglung Cintia
berpakaian. Celana dalamnya lembab terkena cairan sperma Ko Han.
Rambutnya kusut. Ia berjalan sambil melamun sepanjang lorong hotel itu.
3 Februari 2015
Cintia menggengam erat bukti setoran
yang baru saja ia terima kembali dari teller bank tempat ia menyetorkan
uang kerugian perusahaan milik Pramono sesuai dengan petunjuk dari
Pramono ketika Cintia menghubunginya tadi pagi. Hari ini adalah hari
terakhir batas waktu untuk mengembalikan semua kerugian dari kasus
Prima. Di depannya sofa tempat Cintia duduk, Pramono sedang mengamati
bukti transfer yang diberikan oleh Cintia. Waktu menunjukan pukul 7
malam di ruangan kerja Pramono, direktur utama sekaligus pemilik
perushaan itu.
“Sayang sekali bagian keuangan gak
sempet cek ya Bu, apakah udah masuk atau belum ke rekening kami.”
Pramono mengembalikan bukti transfer itu.
“Tapi bener saya sudah setor kok Pak. Gak mungkin saya boongin Bapak.” Cintia menatap cemas.
“Saya sih percaya Bu Cintia gak boong. Tapi tadi bagian legal terlanjur memutuskan untuk meneruskan kasus Pak Prima ini untuk diproses. Jadi dari perusahaan kami sudah gak bisa menarik laporan pengaduannya Bu.”
“Tapi bener saya sudah setor kok Pak. Gak mungkin saya boongin Bapak.” Cintia menatap cemas.
“Saya sih percaya Bu Cintia gak boong. Tapi tadi bagian legal terlanjur memutuskan untuk meneruskan kasus Pak Prima ini untuk diproses. Jadi dari perusahaan kami sudah gak bisa menarik laporan pengaduannya Bu.”
Cintia tidak bisa percaya atas
pendengarannya sendiri. Ia berkata panik, membela diri mengatakan kalo
Pramono yang baru bersedia ditemuinya pada jam tujuh, padahal ia sudah
menunggu sejak pagi tadi. Suara Cintia terdengar begitu panik
hampir-hampir ia menjerit-jerit putus asa atas perkebangan yang terduga
ini.
“Saya gak bisa bantu apa-apa Bu, karena
perusahaan ini kan punya prosedur soal kasus ini. Maaf sekali Bu.” kata
Pramono ketika Cintia terdiam kehabisan kata-kata menatapnya.
“Saya paling hanya bisa menghubungkan ibu dengan orang kepolisian dan kejaksaan yang memproses kasus ini. Mungkin masih bisa dipending atau digugurkan.”
“Saya paling hanya bisa menghubungkan ibu dengan orang kepolisian dan kejaksaan yang memproses kasus ini. Mungkin masih bisa dipending atau digugurkan.”
Secercah harapan tumbuh di mata Cintia.
“Terima kasih Pak Pram, mohon info kontaknya saja Pak, supaya bisa saya hubungi secepatnya Pak. Terima kasih sebelumnya.”
“Nomor kontak dan nama ada di kartu ini
Bu, silakan dikontak sendiri ya…” jawab Pramono. “Tapi gak salah
sepertinya kalo saya minta tolong juga kepada Bu Cintia, sesuai dengan
informasi dari Ko Han. Katanya kemaren Ibu ketemu Ko Han, dan saya
disarankan Ko Han untuk bisa minta bantuan pada Ibu sepertia pa yang Ibu
udah berikan pada Ko Han.”
Wajah Cintia berubah dari jijik,
kemudian marah dan panik mendengar perkataan Pramono. Pramono hanya
tersenyum melihat raut wajah Cintia.
“Bagaimana Ibu? Kebetulan saya ada janji
makan malam sama keluarga. Ulang tahun istri saya. Kalo ibu keberatan
membantu saya terpaksa belum bisa membantu ibu juga.”
Tubuh Cintia yang lunglai, sudah
memberikan jawaban pada Pramono. Ia bangkit mengunci pintu ruangannya
dan kemudian menarik turun semua tirai yang ada di ruangan itu. Suasana
ruangan itu seketika menjadi muram bercampur kemesuman yang begitu
terasa oleh Cintia. Pramono berdiri di hadapan Cintia. Cintia menegakkan
tubuhnya, kemudian melepaskan ikat pinggang yang dikenakan Pramono.
Celana panjang itu jatuh, disusul celana dalam Pramono.
Butuh waktu seminggu untuk bisa bertemu
dengan ketiga orang yang duduk di depan Cintia. Dengan sisa uang
gajiannya Cintia mengajak ketiganya bertemu di lobby sebuah hotel.
Ketiganya mengenakan pakaian dinas karena saat itu masih pagi dan hari
kerja. Mereka orang dari kejaksaan dan kepolisian yang mengurusi kasus
Prima.
“Peraturannya memang kalo udah diproses
harus diteruskan Bu, karena walaupun dicabut juga gak pengaruh ya..”
Tasirin dari kejaksaan berusaha menjelas keadaan kasus Prima pada
Cintia.
Mahmud rekannya serta Basiran dari kepolisian hanya mendengarkan serta menganggukan kepalanya.
“Trus gimana Pak? Saya udah bayar ganti
ruginya penuh Pak. Hanya karena miss dengan jadwal Pak Pramono aja jadi
kayak gini.” mohon Cintia pada Tasirin.
“Apakah gak bisa dibantuin Pak? Kalo ada biaya bisa dikondisikan kok Pak.”
“Bukan masalah biayanya Bu, tapi emang susah kalo diproses gitu. Musti kasus khusus banget kalo mau direvisi ini itu nya.” jawab Mahmud.
“Proses merubah jadi kasus khususnya itu yang berat sekali dan rumit Bu.”
“Apakah gak bisa dibantuin Pak? Kalo ada biaya bisa dikondisikan kok Pak.”
“Bukan masalah biayanya Bu, tapi emang susah kalo diproses gitu. Musti kasus khusus banget kalo mau direvisi ini itu nya.” jawab Mahmud.
“Proses merubah jadi kasus khususnya itu yang berat sekali dan rumit Bu.”
“Kami kan juga punya atasan, jadi musti bisa dipertanggung jawabkan kalo ada revisi Bu.” timpal Basiran.
Cintia menatap ketiga orang itu.
“Bapak-bapak semua, sudah ketemu dengan Ko Han sebelum kesini?” tanya Cintia lirih.
Ketiga orang itu hanya tersenyum.
“Saya tau maksud Bapak.” Cintia berkata
pahit. “Silakan Bapak tunggu sebentar. Saya buka kamar dulu. Nomor kamar
serta kuncinya nanti saya tinggal di receptionist.”
Cintia bangkit meninggalkan ketiga orang
tadi dan melangkah masuk lift menuju receptionist. Ketika ketiga orang
itu masuk kamar Cintia, mereka melihat Cintia sudah mengenakan bathrobe
putih. Ketiganya duduk tanpa melepaskan pandangan pada tubuh Cintia.
Cintia menjatuhkan bathrobe itu ke lantai. Tarikan nafas terdengar jelas
di kamar itu. Tubuh Cintia yang mulus menyita perhatian ketiga orang
itu. Hampir serempak ketiganya bangkit, melepaskan pakaian dinas dengan
beragam atributnya itu hingga terserak di lantai. Ketiganya mengitari
Cintia.
Mata Cintia memancarkan rasa kuatir
bercampur malu. Selanjutnya semua berlangsung cepat. Jamahan. Remasan.
Ciuman. Jilatan. Datang silih berganti. Cintia merasakan jilatan di
memeknya, tapi kemudian berubah menjadi gesekan sebuah jari. Buah dada
kirinya di remas dari belakang. Puting kanannya merasakan lidah dan
gigitan. Rasa lembab terasa pada memeknya. Gesekan jari itu mulai terasa
nyaman. Dua buah tangan menekan pundaknya memaksa Cintia jatuh
berlutut. Sebuah kontol mengacung di depan mulutnya. Mahmud mendesis
nikmat ketika mulut hangat Cintia menyelimuti kepala dan batang
kontolnya. Usapan lidah Cintia membuat kontolnya berdenyut.
“Terus Bu.. Ohhh, gila enak banget. Ditelen ya Bu! telen!” Tangan Mahmud meremas rambut Cintia.
Cintia membelalakan matanya. Ia menggeleng.
“Gahhhkkk, jahannnngg!” Cintia berusaha
menarik kepalanya, tapi tangan Mahmud menahannya. Dua pasang tangan lain
menahan tubuhnya yang meronta.
“OOOhhhh hhhggghhhkkk oooohhhhkkkkk.” Mahmud mengejang dan mendorong maju kepala Cintia.
“Huuurkkkkhhh, hhhuuuuekeekkkkk!”
“OOOhhhh hhhggghhhkkk oooohhhhkkkkk.” Mahmud mengejang dan mendorong maju kepala Cintia.
“Huuurkkkkhhh, hhhuuuuekeekkkkk!”
Cintia meronta sekuat tenaga ketika
semburan sperma memenuhi rongga mulutnya. Tubuh telanjangnya berlari
menuju kamar mandi dan mengeluar isi mulut dan perutnya ke wastafel.
Suara air terdengar mengalir di wastafel ketika Cintia jatuh terduduk
lemas di lantai kamar mandi. Nafasnya memburu. Perutnya terasa mual.
Seseorang masuk ke kamar mandi mendekati Cintia.
“Yuk lanjut Bu…” kata Basiran berdiri dengan kontol tegang.
Tertatih Cintia berusaha bangun
berlutut. Memasukan kontol itu ke dalam mulutnya. Hanya butuh beberapa
menit sebelum semburan sperma memenuhi mulut Cintia lagi. Kali ini ia
tidak sempat menumpahkan lagi isi perutnya ke dalam wastafel. Sperma
Basiran berceceran di lantai keluar dari mulut Cintia. Isi perutnya yang
kosong membuat mulut Cintia terasa pahit ketika ia muntah untuk kedua
kalinya. Di belakang Basiran datang Tasirin. Cintia harus berpegangan
pada kaki Tasirin untuk mengangkat tubuhnya. Ia begitu lemas sehingga
Tasirin leluasa menggerakan kepalanya maju mundur dengan brutal.
Pandangan Cintia berkunang-kunang. Semburan ketiga datang. Cintia jatuh
kejang-kejang memuntahkan semuanya.
ia menjerit sakit ketika perutnya
berkontraksi berusaha mengeluarkan muntahnya tanpa hasil. Tasirin
meninggalkan Cintia terkapar di lantai. Sayup-sayup Cintia mendengar
ketiga orang itu tertawa sambil mengobrol. Bau asap rokok perlahan masuk
ke kamar mandi itu. Cintia berusaha bangkit, masuk ke dalam bathtub. Ia
menarik tirai bathtub, membuka keras air panas. Tubuhnya mengigil
walaupun shower menyirami tubuhnya dengan air panas. Cintia duduk
memeluk lututnya membiarkan air terus menerus menyiram tubuhnya.
Sseorang menyibak tirai bathtub itu.
“Saya tunggu dari tadi kok gak keluar Bu.” tanya Basiran. “Ya udah disini aja gak apa deh. Kayak di film.”
Basiran melangkah masuk bathtub. Ia
mengangkat tubuh Cintia dan menghadapkannya ke dinding membelakanginya.
Basiran menaikan satu kaki Cintia ke bibir bathtub sebelum mendorong
masuk kontolnya.
“Pelan pahhhhkkkkk, ssssshhhhh
pelaaaaahhhkkkk…” Cintia mengerang merasakan memeknya dimasuki batang
kontol Basiran. Tangannya menahan tubuh dan dorong Basiran pada dinding
sementara siraman air terus jatuh ke tubuhnya.
Basiran mulai bergerak maju mundur. hawa
kamar mandi menjadi begitu panas dan beruap. Tubuh Cintia berkilat
tertimpa cahaya lampu. Suara dengusan Basiran terdengar jelas di
belakang Cintia. Cintia merintih. Kepalanya menggeleng ketika merasakan
tubuhnya kembali berontak. Makin lama makin kuat sampai akhirnya
meledak.
“Ooohhhkkkkk, hhhgghhhhkkk…” Cintia mengejang kedua kalinya ketika tangan Basiran memilin kedua putingnya.
Orgasme masih datang beberapa kali pada
Cintia, sebelum akhirnya Basiran memeluk erat tubuh Cintia sambil
menghentak keras. Hembusan nafas berbau rokok tercium dari belakang
Cintia. Tertatih Cintia didorong keluar kamar mandi. Di luar udara
dingin AC langsung mengigit. Tubuh Cintia mengigil, tapi hanya sekejap
ia merasakannya, karena Mahmud dan Tasirin sudah menarik dan mendorong
tubuh Cintia ke atas ranjang. Basiran tersenyum melihat dua rekannya
berebut menikmati tubuh ibu rumah tangga yang masih muda itu. Ia dan
rekannya baru pertama kali merasakan tubuh wanita keturunan. Karena
selama ini setiap gratifikasi seks selalu dengan wanita pribumi.
Oleh karena itu ia dan rekannya bertekad
akan memanfaatkan setiap jengkal tubuh Cintia maksimal dan
habis-habisan. Cintia menjerit-jerit ketika orgasme datang lagi ketika
Mahmud menggarap tubuhnya dari belakang. Tapi jeritan itu langsung
berubah menjadi gumaman ketika kontol Tasirin kembali masuk mulut
Cintia. Beberapa menit kemudian Mahmud mencapai puncaknya. Tubuh Cintia
gemetar tak bergerak di atas ranjang. Tasirin membalik tubuh Cintia,
membuka kakinya dan memasukan kontolnya. Mulut Cintia terbuka tapi
tenaganya sudah habis untuk mengeluarkan erangan. Ia menggeliat ketika
Tasirin mulai menyetubuhinya. Tangannya menggapai-gapai. Matanya melihat
Mahmud dan Basiran duduk menikmati pertunjukan di atas ranjang itu.
Semburan hangat terasa kembali. Cintia memejamkan matanya. Tenaganya
benar-benar habis.
“Prima… maaf..”.
Cintia membuka matanya. Tubuhnya terasa
sakit ketika ia berusaha melihat jam. Pukul 9 malam. Keadaan kamar itu
remang-remang. Hanya dirinya yang terbaring di ranjang. Suara air
mengalir terdengar dari kamar mandi. Cintia menarik selimut menutupi
tubuhnya ketika seseorang keluar dari kamar mandi. Basiran dalam keadaan
telanjang bulat melangkah mendekat. Ia tersenyum.
“Malam ini cuman kita berdua Bu. Anggap aja hoenymoon kedua Bu Cintia yah.”
Ia naik ke atas ranjang, menarik selimut
dari tubuh Cintia dan kembali menindih tubuhnya. Cintia melayani
Basiran semalaman. Cintia teringat pada malam pertamanya bersama Prima.
Prima hanya butuh waktu istirahat sebentar sebelum menyetubuhinya lagi.
Demikian juga Basiran. Sayup-sayup Cintia mendengar adzan subuh ketika
Basiran akhirnya terpuaskan birahinya dan jatuh tertidur. Dengan sisa
tenaganya Cintia masuk ke kamar mandi. Ia menuangkan seluruh sabun mandi
yang ada untuk membasuh tubuhnya yang terasa begitu kotor.
Ketika Mahmud dan Tasirin datang lagi
pada pukul sembilan pagi, mereka melihat Cintia sedang menaiki tubuh
Basiran yang sedang berbaring sambil merokok menikmati goyang tubuh
Cintia. Kedua orang itu langsung bergabung sebelum akhirnya mereka
merasa cukup dan kehabisan tenaga. Mahmud memberikan sebuah amplop
coklat besar pada Cintia. Cintia tidak merasakan sakit seluruh tubuhnya
ketika bergegas keluar hotel dan menuju rumah tahanan dengan taksi.
14 Februari 2015
Tubuh gadis itu mengejang lagi.
Sempoyongan berusaha tetap tegak di atas tubuh Ko Han yang sedang
berbaring menikmati jilatan lidah Cintia pada puting susunya. Cintia
melihat gadis itu. Bibirnya terlihat memucat. Dia kehabisan tenaga.
Cintia medekati gadis itu. Menciumi pipinya kemudian bibirnya. Perlahan
ia mendorong tubuh gadis itu turun dari tubuh Ko Han. Cintia kemudian
membelakangi Ko Han sambil mengangkat pantatnya. Ko Han langsung bangun
dan memasukan kontolnya ke memek Cintia. Memek gadis itu tepat di depan
muka Cintia. Lidah Cintia menjilati memek yang hanya ditumbuhi bulu-bulu
halus itu. Gadis itu merintih. memeknya kembali basah. Cintia pun
kembali merasakan orgasmenya datang. Gadis itu mengaran semakin keras.
tangannya meremas sprei, tubuhnya menggeliat.
“Oohh mbakkk, ooohhh aduuh…” gadis itu merintih. “Mbahkkk mbaaahhhkkkaaa…”
Gadis itu mengejang.
“Tiar kluar lagih mbaaaaaaakkkhhhhh……..”
Cintia berdiri disamping taksi.
Tangannya berusaha merapikan bajunya yang sedikit terlihat kusut ketika
keluar dari hotel tadi. Pada ponsel di tangannya terlihat pesan BBM dari
Ko Han tadi pagi beserta gambar dirinya bersama Ko Han pada waktu itu.
Jarinya bergerak menghapus pesan dan foto tadi. Pintu gerbang dari besi
itu terbuka. Sesosok laki-laki keluar. Prima berlari mendekati Cintia.
Keduanya berpelukan erat. Cintia menangis bahagia merasakan tubuh Prima
kembali dalam pelukannya. Ia menciumi wajah Prima. Prima mengusap rambut
Cintia, sambil menatapnya dalam.
“Happy Valentine Cin…” Prima mencium kening Cintia.
“Happy 1st anniversary Prim…” Cintia mencium bibir Prima.
“Maafkan aku Prima..”
“Happy 1st anniversary Prim…” Cintia mencium bibir Prima.
“Maafkan aku Prima..”