Judi Tangkas - Cerita Sex: Suasana Dingin
Judi Tangkas - Venombet.com - Namaku Nessa, samaran tentunya. Saat ini
aku sedang menyelesaikan skripsi S1 di kota B.
Agen Maxbet - Berikut ini adalah salah
satu isi diary-ku yang ingin dipublikasikan ke khalayak ramai. Mohon
maaf sebelumnya, tapi aku ingin beritahukan bahwa aku menggunakan
account email sobat tercintaku Dytha, seorang cowok yang baik hati dan
penuh perhatian.
Bandung, 6/12/1999
“Tok…tokkk…tokkk..tokkkkkkk..” Bandar Judi Tangkas
“Nes, loe kuliah nggak?” suara Risa terdengar tak sabar menunggu di luar pintu kamar mandi.
“Nes, loe kuliah nggak?” suara Risa terdengar tak sabar menunggu di luar pintu kamar mandi.
Aku masih sempat terbayang perlakuan
pria itu semalam. lidahnya bener-bener bikin gila dan menyiksa semua
syaraf-syaraf kenikmatanku. Perlakuannya yang sulit ditebak, kadang
cepat dan kasar, kadang lembut penuh perasaan, membuatku terengah-engah
melayang bergoyang dicabik badai. Tiada henti dia membiarkan diriku
santai sejenak meresapi gesekan kulit dadanya di ujung-ujung payudaraku.
Vaginaku diserang habis-habisan dengan tusukan-tusukannya yang semakin
lama semakin menguras staminaku. Dansa kami di atas pembaringan berakhir
pada saat musik indah tergantikan suara hujan di luar sana.
Sial..!
Aku mendapati diriku basah kuyup oleh
keringat dan baju tidurku yang tak mampu menutupi tubuhku secara normal.
Aku beranjak bangun dan membenahi baju tidurku. Sekali lagi aku
menghampiri pintu kamarku untuk memastikan kondisinya yang masih aman
terkunci. Jam 3:20, Masih beberapa jam untuk melanjutkan tidurku. Aku
terpaksa mengganti underwear-ku yang basah oleh keringat bercampur
cairan kewanitaanku. Mudah-mudahan pria itu datang lagi ke dalam
mimpiku. Berharap semu birahiku terpuaskan kembali.
Hari ini bener-bener dingin. Hujan telah
mengguyur kota sejak dini hari dengan tetesan-tetesannya. Kadang untuk
beberapa puluh menit, tetesan-tetesan itu terhenti seolah memberi
kesempatan kepada manusia untuk memikirkan langkah kehidupan
selanjutnya. Langit temaram dengan ditemani sinar mentari yang
bermalas-malasan. Beberapa gumpalan awan berkumpul seolah sepasang kaki
wanita yang sedang berbaring manja.
Untung Risa juga ada kelas yang sama
denganku jam 8 ini. Aku bisa ikut menumpang mobilnya dengan aman dari
rasa takut macet, basah, atau berdesakan di angkot. Seperti biasa jika
bermobil di pagi hari, Risa menghindari simpang jalan D yang selalu
macet dan semrawut. Tampaknya lampu lalu lintas sedang ngambek
menjalankan tugasnya. Cerita lama…
Kami dapat tiba dengan selamat tanpa kekurangan suatu apapun dan segera menuju kelas kami masing-masing. Selama perkuliahan aku sedikit terpecah berkonsentrasi dengan diiringi mulutku yang selalu menguap.
Kami dapat tiba dengan selamat tanpa kekurangan suatu apapun dan segera menuju kelas kami masing-masing. Selama perkuliahan aku sedikit terpecah berkonsentrasi dengan diiringi mulutku yang selalu menguap.
Hari ini bergerak seperti biasanya.
Tiada yang menarik untukku selama waktu yang berputar. Beberapa saat
kemudian, aku sudah duduk termangu di sebuah angkot yang membawaku
pulang dari kampus tercinta. Risa mungkin sudah pulang duluan. Aku ada
kelas lebih dari satu mata kuliah hari ini, pada hari Senen pula! Payung
kesayanganku tetap setia mendampingi, sambil sesekali tanganku mengibas
rambut yang tertiup angin sejuk dari jendela angkot itu. Entah mengapa
desiran angin membuat gairahku kembali bangkit. What’s wrong with me?
Begitu tersiksanyakah tubuhku berharap sentuhan dan lambaian seorang
pria? Paddy, I really miss You, Honey! Aku hanya bisa mendengar suaramu
yang membentang laut dan samudra.
Kerinduanku memuncak saat hanya
desahanmu yang terucap. Ohhh… Aku rindu guratan merah di dadaku, tanda
nakal yanng tersisa darimu. Hembusan nafasmu yang melahap pori-pori
perutku. Begitu cepatnya kewanitaanku melembab hanya dengan sapaanmu
yang menggoda. Paddy… I love you. I need you. I want you!
Aku kembali duduk diam tanpa pikiran
apapun. Dan tiba-tiba ia naik! Cukup tinggi dan ramping. Kepalanya
bergerak ke segala arah untuk mencari tempat duduk yang cocok baginya.
Ia menatapku sekejap seolah meminta ijin untuk duduk di tempat kosong di
sebelahku. Dengan cekatan ia berbalik arah dan tanpa sengaja ransel di
punggungnya menabrak dadaku.
“Damn!” runtukku dalam hati. Dengan segera ia memperbaiki posisi duduknya dan tersenyum polos penuh penyesalan.
Akhirnya ia bisa duduk dengan tenang
ditemani ransel kulit di atas pangkuannya. Ia mengambil sapu tangan dari
kantung jeansnya dan menyeka wajahnya. I don’t know why but I like the
way he is doing with his stuff. Tanpa sepatah kata, ia bergerak
bersandar dan mulai memejamkan matanya seolah menikmati ayunan seorang
ibu kepada anaknya yang mau tidur. He’s really cool and rilex.
Angkot bergerak membelah jalan
mengarungi hujan. Satu persatu penumpang turun dengan bergegas memusuhi
hembusan angin dan hujan. Di simpang Cisitu, angkot berhenti berharap
tambahan penumpang yang hanya menyisakan kami berdua, selain supir
angkot tentunya. Aku meyakinkan diriku untuk tidak membuang kesempatan
ini.
“Pulang kuliah, Mas?” tanyaku tiba-tiba dan cukup mengagetkan dirinya.
“Nope. Cuma ngasih laporan praktikum ke lab aja. Tadi mampir sebentar ke Aquarius nyari CD,” tetap dengan gaya bicaranya yang membuatku semakin tertarik.
“Sekarang udach beli donk?” tanyaku lagi menyelidik.
“Nope. Cuma ngasih laporan praktikum ke lab aja. Tadi mampir sebentar ke Aquarius nyari CD,” tetap dengan gaya bicaranya yang membuatku semakin tertarik.
“Sekarang udach beli donk?” tanyaku lagi menyelidik.
Dia hanya nyengir dan kemudian menjawab lirih,
“Ketipu nich gue. Shit!”
Aku hanya menatapnya bingung.
“Temen gue kemarin bilang dia lihat ada
CD yang udach lama gue incer. Gue datangi ke sana dan nggak ada tuch…
Pake acara kehujanan lagi!” lanjutnya sambil menghela nafas.
“Emang cari lagu apa sich?” tanyaku lagi.
“Jazz. Tau jazz?” tanggapnya dengan suara berintonasi sedikit mengejekku.
“Emang cari lagu apa sich?” tanyaku lagi.
“Jazz. Tau jazz?” tanggapnya dengan suara berintonasi sedikit mengejekku.
Kurang ajar nich cowok! runtukku dalam
hati. Nggak tau apa dia berbicara sama aku yang penikmat jazz juga? Tapi
kuakui juga sich, di antara teman-temanku yang cewek, populasi penikmat
jazz-nya juga minim. Mungkin dia berpikir aku hanya cewek yang suka
musik musiman atau yang biar dicap ikut trend doank.
“Aku suka Fusion. Kamu bukan penikmat
mainstream, hip-hop, blues, ato swing khan? tanyaku lagi dengan tatapan
penuh penasaran menunggu reaksinya. Tentu saja dia kaget! hihihihii…
“Aku tadi nyari The Best of Rippingtons. Di-release aja belum apalagi dijual…” dengan suaranya yang dibuat lebih hati-hati.
“Russ Freeman, khan? Setauku juga emang belum ada,” jawabku dengan suara bangga.
“By the way, aku Indra,” tangannya terbuka dan segera kubalas bersalaman singkat. “Nessa,” sambil tersenyum.
“Aku tadi nyari The Best of Rippingtons. Di-release aja belum apalagi dijual…” dengan suaranya yang dibuat lebih hati-hati.
“Russ Freeman, khan? Setauku juga emang belum ada,” jawabku dengan suara bangga.
“By the way, aku Indra,” tangannya terbuka dan segera kubalas bersalaman singkat. “Nessa,” sambil tersenyum.
Tampaknya pembicaraan kami semakin
menggairahkan sesuai kesamaan minat. Angkot sudah bergerak kembali
menuju tempat mangkalnya yang terakhir. Apakah suatu kebetulan, rumah
kost kami relatif dekat walau hanya berjarak 200-an meter saja. Aneh
juga sich, di daerah kost kami di Cisitu Indah, angkot yang lewat cuma
satu jurusan. Tapi kok nggak pernah ketemu yach? Mungkin itu yang
namanya jodoh? Atau nafsuku saja yang menjebak? Aku menerima ajakannya
untuk mampir ke tempatnya.
Ia berasalan untuk saling bertukar
koleksi CD dan berharap aku akan mampir kelak. Am I a slut or what? Tapi
aku menikmati perlakuannya ketika kami sepayung berdua menembus rintik
hujan dengan rangkulan tangannya di pundakku. Aku jadi teringat sebuah
film Indonesia klasik yang pernah kutonton dan aku tersenyum sendiri
dibuatnya. Di depan kamar kostnya, ia berhenti sejenak, membuka pintu,
dan mempersilahkanku masuk.
“Tolong jaga sikap yach. Kamu di kamar orang!” cetusnya tiba-tiba.
Aku sempat bingung, tapi melihat senyumnya yang mengambang aku jadi mengerti. Aku sadar biasanya tuan rumah ngomong,
“Ayo silahkan jangan malu-malu. Anggap aja kamar sendiri.” Tapi dia malah ngomong sebaliknya. Sebal!
Sambil dia sibuk sendiri dengan
barang-barang dan tas bawaannya, aku punya kesempatan untuk
memperhatikan isi ruangan. Kamarnya ditata rapi walau agak sesak dengan
barang-barang elektronik di sekelilingnya. Ada poster kartun Donald
Duck, Batman, dan beberapa poster lainnya. Tapi ada poster yang
membuatku lebih penasaran, “The Funeral of Superman”. Peti mati Superman
yang diusung oleh 6 jagoan, dan diikuti oleh semua jagoan-jagoan DC
Comics di belakangnya. Aku cukup terkesima melihat banyak sekali
figure-figure jagoan dalam 1 poster.
“Ambil dech tuch poster, kalo mau. Tapi
harus bugil dulu depanku.” Lagi-lagi ia membuat pernyataan sumbang dan
nakal yang membuat kupingku jadi agak panas.
Kata-katanya memang kurang ajar untuk
percakapan pada awal-awal perkenalan. Aku sama sekali tidak tersinggung!
Tapi pilihan kata-katanya membuatku semakin penasaran. Berbeda sekali
ketika kami bercakap-cakap di angkot tadi. Apakah keberanian Indra
timbul ketika aku mau menerima ajakannya mampir? Apakah dia tipe pria
yang membutuhkan waktu dan situasi spesial untuk membuka topeng hasrat
dan gairahnya? Ia menyeruak masuk dengan tiba-tiba, sambil kedua
tangannya membawa teh hangat mengepul yang sepertinya nikmat sekali.
Aku hanya mencibir mananggapinya dan
menghampiri teh hangat yang sudah diletakkannya di atas meja belajar.
Baru beberapa saat aku menikmati minumanku, dia sudah melangkah keluar
kamar lagi. Sibuk bener, pikirku singkat. Atau dia gugup….. Tampaknya ia
memang menungguku untuk bergerak duluan. Ia seperti pria yang berusaha
menahan situasi tetap terjaga, berharap sang wanita memohon untuk
dipuaskan.
Aku mengalihkan pandangan pada suatu
benda yang kukenal sebagai CD tower. Kuhampiri dan dengan mata berbinar
kutelusuri deretan-deretan CD di depanku. Beberapa nama masih kukenal
seperti Boney James, Bob James, David Sanborn, Fourplay, Earl Klugh,
atau George Benson. Tapi Kirk Whalum, Kevin Mahogany, Mark Whitfield???
siapa tuch? Harus lebih banyak dengar musisi baru nich. Atau mereka
musisi senior? Atau aku saja yang kurang wawasan?
Beberapa saat kemudian, suara hujan
kedengaran kembali semakin deras. Suaranya bertalu-talu menampar genting
dan dedaunan. Sesekali suara guntur menggelegar membahana menemani
desiran angin. Aku menarik salah satu album Take 6 dan memainkannya di
CD player Pioneer yang teronggok di sebelah CD tower. Alunan “Biggest
Part of Me” memenuhi kamar dan aku kembali menyibukkan diri di depan CD
tower seperti semula. Sekejap terasa hangat sensual kurasakan di sekitar
leher dan telinga. Bulu-bulu halusku menegang menyapa hasratku yang
merinding. Aku mengatup mataku perlahan dan meresapi gejolak yang
melanda tubuhku.
“Liked that, did you?” suara yang kukenal kembali menyapa.
Untuk menjawab pertanyaannya, kukibas-kibaskan tanganku seolah mendinginkan diriku yang terasa terbakar.
“Let it get hot,” katanya lagi.
“It already is.”
“It already is.”
Tangannya menggosok punggungku. “Warm, but not hot yet.”
“Butuh seberapa panas nich?” tanyaku.
Indra bergerak perlahan menjauh dan
menatap keluar jendela. Aku dapat melihat detak nadinya di tenggorokan,
Adam’s apple-nya bergerak sesaat setiap waktu.
“Bener-bener dingin yea di luar,” katanya. Tapi sepertinya ia tidak membicarakan cuaca.
Aku menghampiri tempat tidurnya yang
tertata rapi. Perlahan kubaringkan tubuhku, dan rasa dingin sejuk
merayap di sekujur kulitku.
“Sini.” Ia tampak ragu, kembali kami saling berhadapan, tapi matanya menerawang jauh.
“Take your shirt off.”
“Take your shirt off.”
Perintah itu seolah membawanya kembali
ke bumi dan perlahan ia duduk di sisi tempat tidur. Ia menggigit bibir
bawahnya, dan kembali lehernya berdetak.
“Slowly.” Aku memberi petunjuk dengan senyum merekah.
“Ya,” jawabnya singkat layaknya pasien yang terhipnotis.
“Ya,” jawabnya singkat layaknya pasien yang terhipnotis.
Jari-jarinya merenggut ujung bawah
kaosnya dan melepasnya dengan sigap. Terpampanglah dada seorang pria
dewasa di depanku. Putingnya yang kecil bulat menegang dengan
bertaburkan bulu-bulu halus di sekelilingnya. Urat-urat kebiruan sedikit
menonjol di sepanjang lengan dan tangannya. Ia memperhatikan mataku
yang menyapu dadanya. Tiba-tiba lengannya terangkat dengan tangan
terbuka.
“Kenapa,” ujarnya penasaran.
“Gimme those hands.”
“Gimme those hands.”
Ia merangkak mendekat di atas tempat tidur mendekatiku.
“Mau diapain?” sepertinya dengan pikiran yang berkecamuk.
“Celanaku basah.”
“Celanaku basah.”
Ia tersenyum tertahan.
“I hope so.”
“No. no. Aku tadi sempat kedudukan bangku yang basah waktu di angkot. Mau bantu aku melepaskannya?”
“No. no. Aku tadi sempat kedudukan bangku yang basah waktu di angkot. Mau bantu aku melepaskannya?”
Ia berkata,
“Boleh,” tapi sama sekali tak bergerak.
“Want me to?” Aku meraih ujung celanaku dan mengangkat pantatku.
“Want me to?” Aku meraih ujung celanaku dan mengangkat pantatku.
Ia meletakkan salah satu tangannya di
perutku untuk menahanku. Ia menatap kakiku, dadaku, dan mulutku. Ketika
ia menatap mataku, matanya kembali turun ke bawah.
“Sudah cukup lama,” katanya muram.
“Dan kamu udach lapar sekali, khan?”
“Dan kamu udach lapar sekali, khan?”
Ia menarik nafas panjang memenuhi setiap
sudut paru-parunya. Badannya bergetar kembali. Aku dapat melihat
ketegangan di balik celananya. Posisinya benar-benar merangsangku
seperti gelembung balon yang mau pecah. Ia menggenggam dengan tangannya
sendiri dan meremasnya. Keras. Menghembuskan nafas dari hidungnya dengan
menggigit bibir bawahnya.
Aku mengangkat kembali pantatku dan berusaha melepaskan celana katunku beserta underwear-nya. Aku menunggu usapan tangannya dengan berdebar-debar.
Aku mengangkat kembali pantatku dan berusaha melepaskan celana katunku beserta underwear-nya. Aku menunggu usapan tangannya dengan berdebar-debar.
Ketika tangan itu datang, elusannya
benar-benar halus. Kewanitaanku bergejolak menanggapi sensasi yang
dibuatnya. Ia menarik celanaku menggantikan kedua tanganku yang sudah
meremas sprei tempat tidur. Aku mengangkat kedua kakiku ke atas untuk
memudahkannya terlepas sempurna. Ia melipat celanaku rapi dan meletakkan
underwear-ku diatasnya. Tangannya kembali merenggut kedua pahaku dan
merenggangkannya.
Wajahnya diletakkan sedekat mungkin dari
kewanitaanku. Ia menghirupnya dalam dan menutup matanya. Sekarang
giliran Indra yang melenguh tertahan. Tiba-tiba, ia melepas pegangannya
di pahaku. Ia bangkit dan melepas celana jeans dan underwear.
Kejantanannya mengacung lega di antara kami berdua, menghadap atap kamar
yang gemuruh diterpa hujan. Bilur-bilur nadi di sekujur batang
kemaluannya menambah nuansa tersendiri. Ia menatapku sesaat dan
mengangguk tanpa arti. Tanpa sadar jari jemariku mulai melepas kancing
kemejaku dan melempar ke mukanya. Ia tidak kaget, bahkan menangkap
kemejaku dengan sigap. Dan ritual melipat pakaiannya terulang kembali.
Aku memiringkan tubuhku.
“Would you mind?” sambil membuat lirikan manja.
Ia menghampiri dan menatapku tajam. Ia
membantu melepaskan kaitan bra-ku dan dengan sedikit gemas aku menggaruk
punggungnya. Aku sudah mulai tidak sabar. Aku tidak memperhatikan lagi
kemana perginya bra-ku. Kedua tangannya mendorong pundakku dan aku hanya
mengikuti pasrah. Tubuhku sudah mulai berkeringat dan kewanitaanku
sudah semakin melembab. Dinginnya sprei tempat tidur hanya memberikan
kesejukan sementara pada syaraf-syaraf kulitku yang terombang-ambing
kenikmatan duniawi. Ia kembali menatap dengan mata yang semakin berbinar
seolah seorang anak yang diberi mainan baru tanpa keinginan untuk
memegangnya.
Kemudian badannya berbaring dan
kepalanya mengarah pada wajahku. Tapi perkiraanku ternyata meleset!
Untuk beberapa saat ia mencari sesuatu di atas kepalaku. Ketika ia
kembali pada posisi duduk, mulutnya sudah menggigit sebungkus kondom.
Aku berusaha beranjak bangun dan menatap antusias apa yang akan terjadi
selanjutnya. Jari-jari tangan kirinya menahan ujung penisnya yang sudah
merah mengkilat dan menggulung karet pengaman itu menutupi seluruh
kejantanannya dengan jari-jari tangan kanannya.
Ia berlutut di atas tempat tidur dan
jari-jarinya kembali mengurut penisnya seperti meyakinkan posisi karet
yang benar-benar nyaman. Jujur saja, saat itu kepalaku sudah semakin
pusing dan desiran-desiran yang menyelubungi kewanitaanku semakin
menjadi-jadi. Kami melakukan foreplay tanpa sentuhan fisik yang berarti!
Ia menyelinap di antara kedua kakiku.
Kedua lututnya yang terlipat menahan kedua pahaku yang merenggang
pasrah. I know this man is gonna rock me. Aku menggapai belakang
kepalaku untuk sesuatu sebagai pegangan. Sesuatu yang bisa kugunakan
sebagai jangkar sehingga aku dapat menahan serangannya nanti. Rongga
kewanitaanku melemas terbuka bersiap untuk menelan sesuatu yang keras
dan gemuk di hadapannya. Indra bergerak sangat perlahan. Ia menatap ke
bawah tubuh kami dan terkesima melihat daerah pertempuran yang berada di
bawah kontrolnya.
“Can I?” ia bertanya, suaranya ketat dan tinggi, seperti kejantanannya.
“Terserah!” dengan warna suara yang sudah tidak sabar lagi.
“Terserah!” dengan warna suara yang sudah tidak sabar lagi.
Action! Ia mendorong keras memasukiku,
memenuhi rongga vaginaku, mendesakku ke tempat tidur, dan badanku
bergetar keras ketika ia menariknya keluar. Selalu berulang. Keras.
Menuju dalamnya tubuhku, dan kembali. Menyusun irama kenikmatan menemani
rain symphony.
“Rapatkan kakimu,” kataku memohon.
Ketika ia melakukannya, bukit kecil
pelvisnya menabrak klitorisku. Sensasional dan menyenangkan. Denyutan
orgasmeku semakin nyata, sayangnya belum cukup.
“I wanna roll over.”
“Yeah.” Ia berhenti bergerak di dalamku.
“Yeah.” Ia berhenti bergerak di dalamku.
Agak menarik mundur. Membiarkan lututku
pergi. Aku berusaha berbalik mengelilingi kejantanannya, tanpa
melepaskannya, sehingga tubuhku berada di atasnya sekarang. Ia meremas
pinggulku, seperti pengungkit, ia mulai memompa, mendesak, dan menusuk.
Kedua tanganku meremas dadanya, memilin puting payudaraku, dan menggaruk
paha kakinya. Aku mengangkat tubuhku sehingga dapat melihat batang
kemaluannya yang masuk-keluar menggesek-gesek bibir vaginaku. Aku
menggenggam bola-bola kejantanannya dengan tangan kiri, dan menjepit
klitorisku diantara telunjuk dan jari tengah tangan kananku.
Indra menggeram sekarang, dan tekanan di
antara kami berdua membuat udara di paru-paruku terlepas keluar
membentuk desahan dan jeritan tertahan. Aliran kenikmatan telah menjalar
dari tumit sampai ke ubun-ubun kepalaku. Ia menarik keluar penisnya
dengan cepat. Vaginaku terasa hampa tanpa arti. Aku merendahkan
kewanitaanku berusaha menemukan kembali kejantanannya. Batang
kemaluannya terselip di antara bibir-bibir vaginaku, tanpa berusaha
untuk menerobos masuk kembali. Kepala penisnya menemukan titik keras
klitorisku lagi dan berulang. Aku menekan jari-jariku untuk menahan
batang kemaluannya tetap pada posisi itu.
“Kayaknya sebentar lagi nich. Aku akan meledak sebentar lagi,” kataku sambil terengah-engah.
“Bilang aja kalau udah deket,” bisiknya di telingaku.
“Bilang aja kalau udah deket,” bisiknya di telingaku.
Erangan kenikmatan sudah tidak bisa
kukendalikan lagi. Mulut Indra berusaha untuk membungkamku, mengurangi
keliaranku. Aku tidak bisa menahannya walau sudah berjuang keras. Dan
aku benar-benar menikmatinya. Ia mendorong kembali pinggulnya dan
memasukiku. Ia membenamkan wajahnya di leherku. Aku dapat merasakan
denyut nadi di batang kemaluannya, dan kekagetanku yang membuatku
melayang ketika tangannya meremas payudaraku dan memilin putingku dengan
keras. Perlahan kami berusaha menormalkan kembali pernafasan. Ia
membaringkan tubuhku kembali di atas tempat tidur dan meletakkan tubuhku
di sisinya. Ia menciumi dengan lembut leher dan dadaku.
“Thanks,” ucapnya lirih.
“Lagi…..,” jawabku manja.
“Lagi…..,” jawabku manja.
Hari ini terpaksa makan siangku digabung
dengan makan malam. Indra benar-benar kujadikan pemuas dahagaku.
Kerinduanku seakan terjawab ketika berbaring di atas kasur yang basah
dan lengket. Aromanya membuatku mabuk dan lemas. Aku pun harus dibantu
untuk melangkah keluar kamar. Selama aku di kamar mandi pun, Indra harus
mengecek untuk memastikan bahwa aku tidak pingsan akibat staminaku yang
terkuras habis. Ketika pulang, ia mengantarku sampai di depan kamar
kostku dan memberikan ciuman kilat di bibirku.
Ia menolak dengan tegas undanganku untuk
mampir sebentar menikmati nyamannya kamar kostku. Aku mengerti
mendengar alasannya yang harus menyelesaikan tugas kuliah malam ini.
Sebetulnya staminaku telah kembali seperti semula. Dan aku siap untuk
melakukan posisi-posisi bersetubuh lainnya.
Dengan air hangat, aku membersihkan
tubuhku dan meresapi kembali kenikmatan yang tersisa. Semua pikiran dan
emosi yang mengarahkanku pada cinta telah kubuang jauh-jauh. Aku tak mau
terjebak di antaranya. Biarlah pangeranku yang nun jauh di sana dapat
merasakan getaran hatiku. Semoga kasihku berkenan datang dalam mimpiku
malam ini. Aku berjanji takkan kulepas tubuhmu walau hanya sesosok
bayangan. Selamat malam, my sweetheart. See you in dream.
No comments:
Post a Comment